Saturday, October 17, 2015

Nyinyir Me



Yeah, saya orang yang nyinyir. Sangat nyinyir bahkan. (Yang kenal saya, tidak usah manggut-manggut setuju)

Saya senang sekali mengomentari orang lain. Mungkin karena saya merasa paling benar jadi saya merasa heran pada mereka yang menggunakan cara-cara yang tidak lazim saya gunakan. Misalnya buang sampah. Semua orang tahu (tapi belum tentu menyakini) bahwa sampah itu harus dibuang di tempatnya. Saya heran sekali pada orang yang dengan mudahnya membuang puntung rokok atau botol bekas minuman di jalan raya. Iya, di jalan raya! Caranya pun sangat mudah. Dilakukan tanpa rasa bersalah. Hanya dengan melepaskan apapun sampah yang ada di tangannya tersebut di atas jalan (seringnya) ketika sedang berkendara. Saya sungguh takjub setiap kali melihat kejadian yang demikian. Dan rasanya tidak ada  satu hari pun ketika saya mengendarai motor, saya tidak melihat kejadian seperti itu. Dan setiap kali pula, saya langsung nyinyir dalam hati. Soalnya saya penakut. Saya takut kalo nyinyirin orang secara langsung nanti saya ditampar di tempat atau dituntut karena perbuatan tidak menyenangkan.

Saya juga nyinyir sama orang yang mengaku tidak nyinyir tapi menggunakan kalimat “lebih mudah untuk membuat status tidak nyinyir “. Itu kan nyinyir terselubung. Cih.

Atau pada kasir pasar modern yang tidak mengembalikan uang saya secara pas. Misalnya kembali 1700. Kasir hanya mengembalikan 1500 tanpa mengatakan bahwa uang 200 yang seharusnya menjadi hak saya tidak dikembalikan karena tidak ada uang receh. Kadang kalau hati saya sedang enak atau banyak uang karena baru saja gajian, saya akan diam saja. Tapi kalau saya sedang bokek atau di akhir bulan atau sedang menjelang datang bulan, saya akan langsung memasang wajah jutek sambil menyindir si mbak kasir dengan suara keras. Yeah, saya memang sepenakut itu. Beraninya cuma sebatas menyindir saja. Saya tetap takut ditampar di tempat atau dilempar pakai uang koin dua ratus.

Atau pada kabar mengenai artis yang saya tidak kenal siapa namanya, apalagi kiprahnya, di mana isi kabarnya menceritakan apa saja yang terdapat dalam dompetnya. Oh My God! Penting sekali kah untuk dijadikan sebuah bahan kabar? Saya langsung merepet di depan televisi yang bukannya saya ganti saja channelnya tapi justru saya pelototin untuk saya nyinyiri lebih lanjut. Saya memang beraninya segitu.

Dan saya paling nyinyir sama orang yang konsultasi kesehatan dengan hanya bertanya, “obat radang apa ya?” Hellooohhh.... saya itu dokter. Bukan apoteker. Tugas saya adalah mendiagnosis dan kemudian memberikan terapi yang sesuai. Jadi kalau Anda sudah tahu Anda sakit apa, pergilah ke apotek. Tanyakan pada petugas apotek. Bila Anda beruntung, Anda akan bertemu dengan Apotekernya but let me tell you, that is rare! Mostly, you’ll end up handled by the assistants who usually have less knowledge about medicines. Maka dari itu, saya sarankan, jika Anda tidak benar-benar yakin dengan diagnosa Anda, sebaiknya Anda berkonsultasi ke dokter dengan mengemukakan keluhan-keluhan Anda, bukan menanyakan obatnya apa. Because – this is a secret – not all diseases require medicines. Mostly are self-limiting diseases alias dapat sembuh sendiri tapi dengan syarat dan ketentuan* yang berlaku.

Sebenarnya masih banyak hal yang sering saya nyinyiri dalam keseharian saya. Tentang birokrasi. Tentang politikus. Tentang sinetron. Tentang pacar orang. Tapi nanti ketahuan pacar siapa yang suka saya nyinyiri trus saya ditampar di tempat atau dituntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.

Terakhir, nyinyirlah selagi nyinyir belum ditindak pidana. Asal tidak ketahuan. Hati-hati.



*istirahat yang cukup, gizi yang sesuai, menghindari pantangan sesuai anjuran dokter dan juga olahraga. 

No comments:

Post a Comment