Yeah, saya orang
yang nyinyir. Sangat nyinyir bahkan. (Yang kenal saya, tidak usah
manggut-manggut setuju)
Saya senang
sekali mengomentari orang lain. Mungkin karena saya merasa paling benar jadi saya
merasa heran pada mereka yang menggunakan cara-cara yang tidak lazim saya
gunakan. Misalnya buang sampah. Semua orang tahu (tapi belum tentu menyakini)
bahwa sampah itu harus dibuang di tempatnya. Saya heran sekali pada orang yang
dengan mudahnya membuang puntung rokok atau botol bekas minuman di jalan raya.
Iya, di jalan raya! Caranya pun sangat mudah. Dilakukan
tanpa rasa bersalah. Hanya dengan melepaskan apapun sampah yang ada di
tangannya tersebut di atas jalan (seringnya) ketika sedang berkendara. Saya
sungguh takjub setiap kali melihat kejadian yang demikian. Dan rasanya tidak
ada satu hari pun ketika saya
mengendarai motor, saya tidak melihat kejadian seperti itu. Dan setiap kali
pula, saya langsung nyinyir dalam hati. Soalnya saya penakut. Saya takut kalo
nyinyirin orang secara langsung nanti saya ditampar di tempat atau dituntut
karena perbuatan tidak menyenangkan.
Saya juga nyinyir
sama orang yang mengaku tidak nyinyir tapi menggunakan kalimat “lebih mudah
untuk membuat status tidak nyinyir “. Itu kan nyinyir terselubung. Cih.
Atau pada kasir
pasar modern yang tidak mengembalikan uang saya secara pas. Misalnya kembali
1700. Kasir hanya mengembalikan 1500 tanpa mengatakan bahwa uang 200 yang
seharusnya menjadi hak saya tidak dikembalikan karena tidak ada uang receh. Kadang
kalau hati saya sedang enak atau banyak uang karena baru saja gajian, saya akan
diam saja. Tapi kalau saya sedang bokek atau di akhir bulan atau sedang menjelang
datang bulan, saya akan langsung memasang wajah jutek sambil menyindir si mbak
kasir dengan suara keras. Yeah, saya memang sepenakut itu. Beraninya cuma sebatas
menyindir saja. Saya tetap takut ditampar di tempat atau dilempar pakai uang koin
dua ratus.
Atau pada kabar
mengenai artis yang saya tidak kenal siapa namanya, apalagi kiprahnya, di mana
isi kabarnya menceritakan apa saja yang terdapat dalam dompetnya. Oh My God! Penting
sekali kah untuk dijadikan sebuah bahan kabar? Saya langsung merepet di depan televisi
yang bukannya saya ganti saja channelnya tapi justru saya pelototin untuk saya
nyinyiri lebih lanjut. Saya memang beraninya segitu.
Dan saya paling
nyinyir sama orang yang konsultasi kesehatan dengan hanya bertanya, “obat
radang apa ya?” Hellooohhh.... saya itu dokter. Bukan apoteker. Tugas saya
adalah mendiagnosis dan kemudian memberikan terapi yang sesuai.
Jadi kalau Anda sudah tahu Anda sakit apa, pergilah ke apotek. Tanyakan pada
petugas apotek. Bila Anda beruntung, Anda akan bertemu dengan Apotekernya but let me tell you, that is rare! Mostly,
you’ll end up handled by the assistants who usually have less knowledge about
medicines. Maka dari itu, saya sarankan, jika Anda tidak benar-benar yakin
dengan diagnosa Anda, sebaiknya Anda berkonsultasi ke dokter dengan mengemukakan
keluhan-keluhan Anda, bukan menanyakan obatnya apa. Because – this is a secret – not all diseases require medicines. Mostly
are self-limiting diseases alias dapat sembuh sendiri tapi dengan syarat
dan ketentuan* yang berlaku.
Sebenarnya
masih banyak hal yang sering saya nyinyiri dalam keseharian saya. Tentang
birokrasi. Tentang politikus. Tentang sinetron. Tentang pacar orang. Tapi nanti
ketahuan pacar siapa yang suka saya nyinyiri trus saya ditampar di tempat atau
dituntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.
Terakhir,
nyinyirlah selagi nyinyir belum ditindak pidana. Asal tidak ketahuan.
Hati-hati.
*istirahat
yang cukup, gizi yang sesuai, menghindari pantangan sesuai anjuran dokter dan
juga olahraga.
No comments:
Post a Comment