Srekk srekk srekk...
Srekk srekk srekk...
Berulang kali aku melihat dia
menggoyang-goyangkan celengan berbentuk katak warna hijau itu. Sesekali diintip
ke lubangnya, sambil memicingkan sebelah mata. Berhenti menggoyang-goyangkan,
dia meletakkan celengan itu di lantai. Lalu berjongkok didepannya. Memangku
dagu mungil diantara kedua tangannya.
Aku penasaran dengan apa yg tengah
ia lakukan. Apakah ia tengah berpikir untuk membeli mobil-mobilan seperti yang
selalu dia rengekkan sebelumnya?
“Kenapa, Di?” tanyaku akhirnya
“Ngga apa, Nek.” Jawabnya masih tak
melepaskan pandangannya dari celengan itu.
Sambil merapikan tas dan peralatan
sekolahnya, aku masih terus memperhatikan Adi. Apa yg hendak dia lakukan
berikutnya.
Seragam merah putihnya belum lagi
dilepas. Biasanya, begitu pulang dia langsung akan mencium tanganku, lalu
mengangkat kedua tangannya lebar. Minta dibukakan seragamnya untuk diganti
dengan baju bermain. Sepertinya hari ini dia enggan bermain.
Tangannya meraih kembali celengan
itu. Diangkat. Lalu digoyang goyangkan lagi.
Srekk srekk srekk..
Keringat tampak mengalir di dahinya.
Sebagian membasahi rambut cepaknya. Aku tersenyum kecil. Anak itu kian
bertumbuh. Aku teringat 5 tahun yang lalu, ketika putra pertamaku, di
pertengahan malam, datang dengan menggendongnya.Bayi lelaki mungil yang belum
genap satu tahun, Adi. Ayahnya tak banyak berkata apa-apa pada saat itu. Hanya
berkata bahwa ibunya lebih memilih pergi. Aku tak perlu mendengar penjelasan
panjang lebar. Aku tau bagaimana kondisi rumah tangga mereka saat itu.
Sejak saat itu, rumahku bertambah ramai.
Ayahnya tak pernah sekalipun menyebut-nyebut mengenai mantan istrinya. Apalagi ketika terdengar kabar bahwa
dia sudah menikah lagi dengan lelaki lain dan menetap di Bogor.
Pernah sekali, dahulu, Adi bertanya
kepadaku, kenapa Ibu tidak ada di rumah. Pada saat itu, aku hanya mengelus
rambutnya sambil berkata “ Kalau Adi jadi anak baik, Ibu pasti datang. Sekarang
Ibu lagi repot karena harus urus adiknya Adi”
Sejak itu, Adi tak pernah bertanya
lagi. Sesekali aku yang bertanya kepadanya
“Adi kangen Ibu?” Dia hanya menggeleng sambil
tersenyum.
Begitu terus. Sampai dia beranjak
besar. Tak pernah sekalipun Adi menyinggung-nyinggung soal Ibunya. Begitupun
aku. Maupun Ayahnya.
“Nek..” panggilnya
“Apa, Di?” jawabku pendek.
“Celengan Adi pecahin ya..”
“Buat apa? Beli mainan lagi?”
“Ngga..”
“Terus?”
“Adi mau ke Bogor tanggal 22
Desember. Beli bunga. Buat Ibu”
Aku terdiam
Adi melangkah ke arahku. Lalu
mengecup pipiku.
“Boleh ya Nek?”
Aku tersenyum mengangguk. Kasih Ibu
memang sepanjang masa. Tapi belum tentu juga kasih anak sepanjang galah...