Monday, November 30, 2015

Selipan rindu


Srekk srekk srekk...
Srekk srekk srekk...

Berulang kali aku melihat dia menggoyang-goyangkan celengan berbentuk katak warna hijau itu. Sesekali diintip ke lubangnya, sambil memicingkan sebelah mata. Berhenti menggoyang-goyangkan, dia meletakkan celengan itu di lantai. Lalu berjongkok didepannya. Memangku dagu mungil diantara kedua tangannya.

Aku penasaran dengan apa yg tengah ia lakukan. Apakah ia tengah berpikir untuk membeli mobil-mobilan seperti yang selalu dia rengekkan sebelumnya?

“Kenapa, Di?” tanyaku akhirnya

“Ngga apa, Nek.” Jawabnya masih tak melepaskan pandangannya dari celengan itu.

Sambil merapikan tas dan peralatan sekolahnya, aku masih terus memperhatikan Adi. Apa yg hendak dia lakukan berikutnya.
Seragam merah putihnya belum lagi dilepas. Biasanya, begitu pulang dia langsung akan mencium tanganku, lalu mengangkat kedua tangannya lebar. Minta dibukakan seragamnya untuk diganti dengan baju bermain. Sepertinya hari ini dia enggan bermain.

Tangannya meraih kembali celengan itu. Diangkat. Lalu digoyang goyangkan lagi.

Srekk srekk srekk..

Keringat tampak mengalir di dahinya. Sebagian membasahi rambut cepaknya. Aku tersenyum kecil. Anak itu kian bertumbuh. Aku teringat 5 tahun yang lalu, ketika putra pertamaku, di pertengahan malam, datang dengan menggendongnya.Bayi lelaki mungil yang belum genap satu tahun, Adi. Ayahnya tak banyak berkata apa-apa pada saat itu. Hanya berkata bahwa ibunya lebih memilih pergi. Aku tak perlu mendengar penjelasan panjang lebar. Aku tau bagaimana kondisi rumah tangga mereka saat itu.

Sejak saat itu, rumahku bertambah ramai. Ayahnya tak pernah sekalipun menyebut-nyebut mengenai mantan  istrinya. Apalagi ketika terdengar kabar bahwa dia sudah menikah lagi dengan lelaki lain dan menetap di Bogor.

Pernah sekali, dahulu, Adi bertanya kepadaku, kenapa Ibu tidak ada di rumah. Pada saat itu, aku hanya mengelus rambutnya sambil berkata “ Kalau Adi jadi anak baik, Ibu pasti datang. Sekarang Ibu lagi repot karena harus urus adiknya Adi”

Sejak itu, Adi tak pernah bertanya lagi. Sesekali aku yang bertanya kepadanya
 “Adi kangen Ibu?” Dia hanya menggeleng sambil tersenyum.

Begitu terus. Sampai dia beranjak besar. Tak pernah sekalipun Adi menyinggung-nyinggung soal Ibunya. Begitupun aku. Maupun Ayahnya.

“Nek..” panggilnya

“Apa, Di?” jawabku pendek.

“Celengan Adi pecahin ya..”

“Buat apa? Beli mainan lagi?”

“Ngga..”

“Terus?”

“Adi mau ke Bogor tanggal 22 Desember. Beli bunga. Buat Ibu”

Aku terdiam

Adi melangkah ke arahku. Lalu mengecup pipiku.

“Boleh ya Nek?”

Aku tersenyum mengangguk. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Tapi belum tentu juga kasih anak sepanjang galah...

No comments:

Post a Comment