Sunday, May 22, 2016

Tentang Solo Traveling

Tulisan ini dbuat ketika seseorang berkata “ah lo, jalan jalannya keluar negeri mulu, gak cinta sama negeri sendiri, lagian sebagai orang Indonesia, lo belum bisa dibilang traveler kalo belum mengeliling indonesia, bikin blog kek untuk guide kita kita, biar ada manfaatnya jalan jalan lo” saya gak marah denger sederetan kata kata penuh tuduhan itu, tapi saya bete haha.

Terus terang, saya gak pernah mengaku ngaku saya sebagai seorang traveler. Pun ketika mereka bertanya “nanti trip kemana lagi?” saya cuma bisa senyum. Karena saya memang orang yang sangat impulsif dalam memilih destinasi saat ingin “me time traveling”. Tidak sedikit yang menyarankan saya untuk membuat blog tentang pengalaman perjalanan perjalanan yang sudah saya tempuh. Bukannya anti mainstream tapi diluaran sana banyak bangetlah orang orang yang udah bikin blog seperti itu, lengkap dengan harga hotel dan segala tetek bengek itenararynya. Sampai saat ini saya belum tertarik untuk menceritakan pengalaman saya, bukannya tidak ingin berbagi tapi pengalaman pengalaman itu tersimpan dihati saya begitu dalam, begitu indah dan begitu berharga. Saya takut kalau saya menuangkan kedalam tulisan, nanti tidak bisa seindah apa yang saya rasakan. Saya tidak bisa menceritakan bagaimana pengalaman spiritual saya ketika berada didalam Sagrada Familia di Barcelona, gereja beraliran neo gothic bergaya art nouveau masterpiece dari Antoni Gaudi atau kepuasan saya yang akhirnya bisa masuk ke Sistine Chapel di Vatican hanya untuk melihat lukisan bait salomo dilangit langit gereja seluas 5.000m2 mahakarya dari Michelangelo muda, atau pengalaman buruk saya ditipu orang orang kulit hitam dan bolak balik 4 kali keliling Gare Du Nord di Paris untuk nyari alamat penginapan saya. Atau kekesalan saya karena dijebak kedalam judi dadu di Checkpoint Charlie German. Atau betapa ingin menangisnya saya ketika ketinggalan pesawat ke Italy dari Spanyol. Atau rasa bersyukur saya ketika ditolong masinis tua untuk mencari teman saya keliling dengan mobil vw antiknya mengelilingi Roma, Italy plus diajari bahasa Italy. Atau betapa capeknya saya ketika harus berada di dalam kereta selama 22 jam dan harus 5 kali ganti kereta untuk menuju ke Berlin dari Roma Termini. Atau betapa bingungnya saya ketika semua pertanyaan pertanyaan bahasa inggris saya dijawab dengan bahasa spanyol waktu saya ingin mengikuti Latomatina festival, festival lempar lemparan tomat di desa kecil bernama Bunol di pelosok Spanyol. Atau rasa haru saya ketika pemilik restaurant di Georgetown, Malaysia menunda menutup restonya cuma karena menunggu saya datang untuk mencicipi masakannya yang terkenal rekomendasi dari Lonely Planet, betapa pengertianya mereka ketika saya jelaskan kalau malam itu adalah malam terakhir saya di kota mereka. Atau rasa terimakasih saya ke kokoh cina supir mini truck pengangkut sayur yang mau memberi saya tumpangan jam 5 subuh cuma karena saya ingin melihat matahari terbit di Vihara Kek Lo Si,  Temple terbesar di Asia Tenggara. Atau pengalaman indah saya berada diatas atap perahu nelayan jam 4 subuh menuju gunung krakatau dengan beratap langit bertabur bintang dan siang siangnya melompat kedalam laut dari atap perahu yang jaraknya hampir 4meter ke permukaan laut. Atau betapa saya menikmati perjalanan saya bertemu 3 kelompok ibu ibu dan 2 anak mereka ketika di Belitong, mereka yang akhirnya mengajak saya bergabung dengan trip mereka dan memperlakukan saya seperti anggota mereka sendiri. Atau betapa saya merasa punya pulau sendiri karena bebas snorkling waktu berada di pulau tak berpenghuni yang berpasir pink dan tak berombak di lombok tenggara. Atau betapa impulsifnya saya yang tiba tiba membeli tiket ke samarinda pada waktu weekend hanya untuk berbincang dengan penduduk lokal lalu kemudian menikmati sisa hari untuk berenang dan menonton TV didalam kamar hotel. Itu ada beberapa pengalaman traveling saya, yang sekali lagi saya tidak bisa menuangkan secara detail apa yang saya rasakan kedalam sebuah tulisan. Jadi biarlah itu tersimpan dihati saya kenangan yang akan saya simpan seumur hidup saya. 

Ok balik lagi keomongan teman saya itu, jadi sebenarnya sungguh saya sangat ingin sekali mengeksplor nusantara yang seperti surga ini. Tapi melihat infrastruktur yang masih sangat terbatas, mahalnya penginapan, dan kadang kadang money oriented dan sikap tidak bersahabat dari penduduk lokal, dan attitude turis lokal yang suka mengotori membuat saya harus menahan diri untuk bisa mengelilingi tanah air ini. Bayangkan, jika ingin ke derawan tiket ke tarakan PP bisa lebih mahal dari tiket pesawat ke HK PP (dimusim musim tertentu), atau tiket ke Medan lebih mahal daripada tiket ke Penang, belum lagi kalau ingin ke Laboan Bajo yang harga tiketnya waktu itu lebih mahal dari tiket jkt-paris pp saya (cuma 7,3jt saja). Belum lagi kita harus mengeluarkan uang lebih jika tujuan kita makin kepelosok, jadi jujur saja untuk saya yang lebih sering melakukan perjalanan sendiri kantong saya tidak rela mengeluarkan uang hanya untuk mendapatkan kepuasan yang antiklimaks hanya karena faktor eksternal. Tapi saya sangat mendukung semua orang untuk datang ke Indonesia dan semoga penduduk kita sudah cukup dewasa lahir dan batin untuk menjadi tuan rumah yang baik dan ramah.

No comments:

Post a Comment